Lestari Hutan Indonesia
Dalam pengelolaan hutan lestari, ada sejumlah aspek yang berpengaruh. Ketahui pula tahap pengelolaan sebelum memanfaatkan hasil hutan lestari indonesia.
Ada dua dimensi berbeda yang mau tidak mau harus dihadapi dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan. Sisi pertama, pengusahaan hutan menjadi salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara itu, di sisi lain pengelolaan hutan menyisakan persoalan terkait menurunnya kuantitas dan kualitas hutan. Dua hal ini menjadi alasan kuat untuk memperketat pengawasan terhadap pengelolaan hutan.
Masalah Pengelolaan Hutan
Apa saja masalah yang umum terjadi dalam pengelolaan hutan? Salah satu di antaranya adalah intensitas pembalakan yang melebihi tingkat pembalakan lestari. Padahal, agar hutan tidak rusak karena digunakan untuk kepentingan manusia, perlu ada regenerasi yang baik. Pembalakan liar ditandai dengan menurunnya kemampuan hutan dalam memasok kayu.
Penyebab maraknya pembalakan liar antara lain permintaan terhadap kayu bulat ternyata lebih besar daripada produksi hutan lestari. Selain itu, ada permintaan terhadap ukuran maupun jumlah kayu bulat yang tidak sesuai dengan aturan.
Fakta lain yang tidak boleh diabaikan dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah metode pembalakan yang tidak efisien. Hal ini bisa dilihat dari proporsi kayu yang didapatkan, limbah tebangan, dan kerusakan yang terjadi setelah pembalakan. Bukan hanya itu, penanaman hutan kembali sangat jauh dari jumlah yang sudah diambil.
Berbagai permasalahan tersebut menimbulkan kondisi yang dilematis pada sektor kehutanan Indonesia. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) menjadi salah satu langkah penting yang dilakukan guna mengurangi laju penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia.
Aspek Pokok Pengelolaan Hutan Lestari
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari adalah proses pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu menyangkut produksi hasil hutan tanpa dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Tujuan pengelolaan hutan juga tidak boleh mengurangi nilai di dalamnya serta potensi yang diharapkan pada masa datang.
Ada berbagai usaha yang dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan supaya dapat meningkatkan dampak positif serta mengurangi dampak negatifnya. Dalam hal ini, terdapat lima aspek pokok yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
· Aspek Kepastian dan Keamanan Sumber Daya Hutan
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan produksi lestari adalah kepastian hukum. Untuk melakukan usaha-usaha pengelolaan hutan, perlu ada kepastian hukum yang dirangkum dalam aturan yang sah. Dengan demikian, masyarakat bisa melakukan kegiatan pengelolaan secara legal.
Kepastian hukum tersebut harus diikuti oleh pengendalian pelaksanaan operasional yang dilakukan secara sah. Perencanaan pengelolaannya dan penetapan kawasan juga harus jelas dan telah dikukuhkan secara hukum.
· Aspek Kesinambungan Produksi
Selain itu, ada pula yang disebut aspek kesinambungan produksi. Dalam pengelolaan hutan lestari, kesinambungan produksi merupakan hal yang tak kalah penting. Karena itu, diperlukan penetapan sistem silvikultur yaitu sistem panen dan pembudidayaan. Hal ini harus disesuaikan dengan kondisi hutan yang akan dikelola.
Produksi kayu pada siklus pertama biasanya ditentukan oleh kemampuan perusahaan menata area hutan. Caranya bisa dilakukan dengan inventarisasi serta penafsiran foto udara. Hal ini bermanfaat agar jatah produksi tahunan secara riil tidak berbeda dengan perkiraan produksinya.
Selanjutnya, untuk siklus kedua, kesinambungan produksi perlu diperhatikan. Hal ini terkait dengan cara penebangan, inventarisasi tegakan yang tertinggal, serta penanaman maupun pemeliharaan tegakan.
· Aspek Konservasi Flora Fauna dan Keanekaragaman Hayati serta Fungsi Hutan
Ketiga, aspek konservasi flora dan fauna juga wajib diperhatikan. Konservasi dilakukan untuk penyediaan plasma nutfah, membangun zona penyangga yang membatasi hutan produksi dengan hutan konservasi, inventarisasi flora dan fauna, pencegahan terhadap penebangan pohon yang tidak boleh ditebang, pencegahan kebakaran, serta perlindungan sungai, pantai, mata air, dan area yang dilindungi lain.
· Aspek Manfaat Ekonomi
Aspek keempat yang terkait dengan pengelolaan hutan lestari adalah aspek ekonomi. Dalam aspek ini, sumber daya manusia memiliki pengaruh yang cukup penting. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu profesionalisme tenaga kerja, kesejahteraan karyawan, serta kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat yang berada di dalam maupun sekitar hutan.
Selain itu, aspek ekonomi dalam pengelolaan hutan juga mencakup hak tradisional masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan non-kayu serta untuk kebutuhan kegiatan spiritual. Ada pula aspek pendidikan maupun kesehatan masyarakat, baik yang berada di dalam atau sekitar hutan.
Aspek ekonomi juga berkaitan dengan bantuan-bantuan yang diterima oleh masyarakat, termasuk di antaranya dalam bentuk penyuluhan dan bimbingan atau dalam bentuk material. Dengan demikian kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bisa meningkat.
· Aspek Kelembagaan
Dalam rangka Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, peran lembaga yang berwenang juga tak bisa diabaikan. Ada Kementerian Kehutanan dan sejumlah organisasi yang mengusung ketentuan mengenai pengelolaan hutan secara legal.
Untuk itu, dibutuhkan tenaga-tenaga profesional sehingga dapat mendukung pengelolaan hutan.
Selai dari beberapa aspek tersebut, keberhasilan pengelolaan hutan lestari juga bergantung pada sejumlah faktor, antara lain kebijakan dan komitmen pemerintah, dukungan masyarakat, struktur pemerintah yang menjamin kebijakan dan komitmen, serta investasi yang memadai untuk merencanakan dan mengelola sumber daya di hutan.
Tahapan Pengelolaan Hutan Lestari
Setelah mengetahui aspek-aspek penting dalam pengelolaan hutan lestari, langkah selanjutnya adalah memahami tahap dan kegiatan utama yang dilakukan.
Tahap pertama yang sangat penting adalah tahap prakondisi. Dalam tahap ini, intinya terletak pada komitmen dari pengelola hutan dalam melaksanakan PHPL. Bukti komitmen tersebut antara lain dengan melakukan hal-hal berikut:
· Meningkatkan kesadaran dalam melaksanakan PHPL
Kesadaran tersebut harus dimiliki oleh semua jajaran internal, mulai dari pemilik perusahaan, manajemen, hingga staf lapangan. Untuk menciptakan kesadaran tersebut, perlu ada pemahaman tentang Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dalam berbagai aspek.
· Membangun komitmen untuk melaksanakan PHPL
Bukti selanjutnya yang perlu ditunjukkan oleh pengelola hutan adalah membangun komitmen untuk pengelolaan hutan. Hal itu bisa ditunjukkan melalui visi dan misi perusahaan, adanya pemenuhan aspek legalitas, dan memiliki tenaga teknis yang memahami tentang pengelolaan hutan lestari.
· Penilaian kesenjangan antara praktik dan standar PHPL
Hal ini merupakan langkah pertama untuk memperbaiki kinerja dalam rangka pengelolaan hutan produksi lestari. Hasil penilaian ini perlu disosialisasikan kepada semua jajaran pengelola hutan.
· Membuat rencana aksi untuk pengelolaan hutan
Setelah mendapatkan nilai dari gap assesment tersebut, perlu ada tindak lanjut dengan membuat rencana aksi. Komponen yang harus ada adalah target, kegiatan, penanggung jawab, dan waktu pelaksanaan.
Langkah kedua adalah mengumpulkan data dasar yaitu informasi menyeluruh terkait sumber daya hutan, dampak potensial, kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Ada pun kegiatan utama dalam tahap ini adalah penataan batas area kerja serta pengukuhan kawasan hutan dan analisis terhadap dampak lingkungan (AMDAL). Analisis ini perlu dilakukan guna memenuhi syarat pemanfaatan hasil hutan.
Jadi aspek pokok dalam pengelolaan hutan lestari beserta tahap-tahap pengelolaan yang perlu diketahui dalam rangka memanfaatkan hasil hutan.
Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Selamatkan DAS
Rabu, 21 April 2010 (Vibizdaily-Nasional): Pengelolaan hutan rakyat yang lestari merupakan salah satu kegiatan masyarakat yang berdampak positif bagi penyelamatan daerah aliran sungai (DAS), perbaikan fungsi tutupan lahan, kata juru bicara Lembaga Ekolabel Indonesia Indra S Dewi.
“Selain itu juga berkontribusi langsung bagi kesejahteraan masyarakat petani hutan yang mengelola hutan secara lestari,” katanya disela-sela lokakarya bertema “Hutanku Lestari, Sungai Bersahabat, Masyarakat Sejahtera” di Yogyakarta, Rabu.
Lokakarya yang digagas Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) itu juga dirangkaikan dengan kunjungan wartawan ke hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah dan Pacitan, Jawa Timur.
Ia menjelaskan, LEI sebagai organisasi nirlaba yang bekerja mengembangkan sistem sertifikasi ekolabel pengelolaan sumberdaya alam yang lestari, ingin memperkenalkan pengelolaan hutan rakyat yang lestari kepada publik, karena selain mendorong pelestarian lingkungan juga mendorong masyarakat pengelola lingkungan itu sendiri menjadi berkembang.
Dikemukakannya, sepanjang 2004 hingga 2010 berbagai pihak bekerja sama untuk mendorong pelestarian hutan rakyat untuk penyelamatan DAS menggunakan sertifikasi ekolabel standar LEI.
Untuk itu Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten, Balai Pengelolaan DAS, Pusat Standardisasi Lingkungan Kementerian Kehutanan dan Perhimpunan Studi dan Pengembangan Ekonomi Sosial (PERSEPSI), sebuah lembaga pemberdayaan ekonomi masyarakat bekerja sama mendorong sertifikasi ekolabel hutan-hutan rakyat di sepanjang empat DAS.
Ke empat DAS tersebut yakni DAS Solo dan DAS Pemali-Jratun, Semarang, Jawa Tengah, DAS Sampeyan-Madura, serta DAS Cimanuk Cisanggarung, dan DAS Citanduy di Jawa Barat berdasarkan standar LEI.
Saat ini, kondisi DAS di Indonesia semakin memprihatinkan dengan indikasi semakin seringnya teejadi banjir, kekeringan, diperparah dengan tanah longsor akibat air limpahan hujan yang tidak terserap ke tanah akibat penggundulan hutan di hulu.
Menurunnya kualitas DAS yang terjadi saat ini secara langsung disebabkan penebangan hutan yang tidak bertanggung jawab di daerah hulu yang disebabkan kebutuhan mendesak seperti konversi lahan hutan menjadi perkebunan, perladangan dan perumahan.
Akibatnya masyarakat mengalami musibah kehilangan tempat tinggal, ternak, sawah dan ladang, harta benda, dan lain-lain.
Standar sertifikasi ekolabel yang dikembangkan oleh LEI dipilih sebagai alat untuk membantu penyelamatan DAS karena standar sertifikasi LEI mendorong pelestarian hutan berkelanjutan sekaligus mendorong pemberdayaan masyarakat pengelola hutan secara lestari, sehingga merangsang pertumbuhan kesejahteraan masyarakat petani hutan.
Selain itu, sertifikasi “Chain of Custody” (Coc) atau lacak balak yang dikembangkan oleh LEI akan menjaga keamanan asal usul produk kayu dan non-kayu hanya berasal dari hutan rakyat yang lestari dan legal.
Asal usul produk kayu dan non-kayu yang lestari dan legal ditandai dengan adanya identitas LEI-CoC pada kemasan dan produknya.
Produk kayu bersertifikat LEI-CoC saat ini telah diproduksi oleh PT Jawa Furni Lestari yang mengolah bahan baku hutan rakyat bersertifikat LEI menjadi industri mebel.
Saat ini terdapat 10 unit manajemen hutan rakyat lestari (UMHR) yang telah bersertifikat LEI, lima di antaranya berada di wilayah kawasan DAS Solo yakni Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Sragen, dan Magetan.
Penyiapan menuju sertifikasi LEI, kata Indra juga sedang dilakukan di DAS Pemali Jratun yang meliputi Batang dan Pekalongan, dan DAS Cimanuk Cisanggarung, termasuk DAS Citanduy meliputi Garut, Sumedang, Majalengka, Brebes dan Cirebon.
Keberhasilan lima UMHR tersebut merupakan hasil kerja sama berbagai pihak, mulai dari komitmen masyarakat yang mengelola hutan rakyat dan PERSEPSI sebagai penjamin dan pendamping.
Sementara Dinas Kehutanan kabupaten sebagai pendamping dan fasilitator, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, BPDAS Solo dan Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) Kementerian Kehutanan, yang membantu dalam bentuk pendanaan maupun dukungan lainnya.
Program penyelamatan
Sementara itu, Manajer Akreditasi dan Sekretariat LEI Gladi Hardiyanto mengatakan, program penyelamatan DAS sejalan dengan program Departemen Kehutanan yang telah menetapkan 108 DAS sebagai prioritas penyelamatan dalam kurun waktu lima tahun (2010-2014).
Di samping itu juga sejalan dengan Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009 tentang strategi pengelolaan DAS serta upaya pokok yang dapat dilakukan 20 tahun mendatang
Untuk memperluas gerakan penyelamatan lingkungan di hutan rakyat berbagai daerah, LEI mengajak wartawan berbagai daerah melihat langsung kegiatan di lapangan, mulai dari hutan rakyat sampai produk kayu jadi yang bersertifikat LEI-CoC.
Tujuan kegiatan itu, kata dia, memberikan pengalaman kepada wartawan mengenai praktik pengelolaan hutan lestari yang mendorong pengembangan masyarakat dan pelestarian lingkungan.
Selain itu juga memperkenalkan sertifikasi ekolabel standar LEI di hutan rakyat lestari dan produk kayu bersertifikat LEI yang ada di Wonogiri, Pacitan, dan Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta.
(ras/RAS/ant)
Enam Perusahaan Raih Sertifikat Hutan Lestari dari LEI
(Bisnis Indonesia,12 Maret 2007)-JAKARTA: Di tengah buruknya anggapan masyarakat terhadap industri kehutanan di Indonesia, enam perusahaan (unit pengelolaan) hutan memperoleh sertifikasi hutan lestari dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
Selain keenam perusahaan itu, ada lima pengelola hutan rakyat dan satu in-dustri perkayuan. Ke-11 institusi itu dinilai telah memenuhi standardisasi LEI dalam menyusun dan mengembangkan sistem pengelolaan hutan. Pengelola hutan tersebut mengelola luasan hutan bersertifikat 1,04 juta hektare (ha) atau kurang lebih 1,5% dari luas kawasan hutan Indonesia yang luasnya sekitar 103 juta ha.
“Luasan hutan bersertifikat itu masih kecil,” kata Kepala Divisi Humas LEI Indra Setia Dewi di Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan kondisi itu akibat kurang kondusifnya prakondisi pengelolaan hutan untuk mendukung pencapaian performa pengelolaan hutan lestari. Hal itu tercermin dalam tumpang tindihnya kebijakan antarsektor, antar departemen, dan antara pusat dan daerah.
Ketidaktegasan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan, kata Indra, merupakan titik permasalahan yang kemudian berkembang menjadi potensi konflik dan konflik tenurial yang sering terjadi di wilayah konsesi hutan produksi.
Kondisi yang tidak kondusif seperti ini, menurut dia, mengakibatkan sulitnya unit manajemen pengelolaan hutan untuk mencapai performa pengelolaan hutan lestari.
Menhut M.S. Kaban pun mengakui lebih dari 59 juta hektare sumber daya hutan Indonesia dari luas keseluruhan sekira 120,35 juta hektare, kini kondisinya rusak dan sangat memprihatinkan hingga memerlukan rehabilitasi.
Hal itu disebabkan oleh laju perusakan hutan yang begitu cepat yang berkisar 2,83 juta hektare setiap tahun.
“Penyebab utama akibat perbuatan tangan jahil manusia yakni illegal logging dan perdagangan kayu ilegal,” kata Menhut, belum lama ini.
Konflik Masyarakat
Karena itu, kata Indra, Untuk membantu menciptakan kondisi yang kondusif bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari, khususnya di tingkat unit manajemen, LEI mengembangkan sistem sertifikasi bertahap (phased certification).
Sertifikat itu diberikan setelah LEI mengevaluasi sisi produksi, tata batas, penyelesaian konflik dengan masyarakat sekitar, aspek lingkungan seperti apakah perusahaan itu telah memelihara ekosistem, baik dari sisi hilir maupun hulunya.
Penilaian, lanjut Indra, juga dilakukan terhadap apakah perusahaan pengelolaan hutan tersebut telah memberi manfaat sosial maupun ekonomi terhadap masyarakat sekitar hutan. Manfaat itu misalnya memberi peluang pekerjaan kepada masyarakat dan membangun fasilitas umum dan sosial.